Guru memang selalu identik dengan buku. Ketika
memasuki kelas untuk mengajar, guru biasanya menenteng buku literatur untuk mengajar. Lalu duduk di meja, menyapa para murid, beberapa
melemparkan candaan ringan untuk membuat para murid rileks, kemudian membuka
buku dan mulai mengajar.
Mengajar = membahas materi yang ada di buku literatur per-bab
Seharusnya itu sudah menjadi cara lama dalam sistem belajar mengajar. Sekarang ini teknologi sudah
semakin maju, dan kebanyakan anak muda sudah semakin pintar karenanya.
Seharusnya tidak ada alasan untuk para guru tetap melestarikan cara mengajar
menunduk-menatap-buku-lalu-menjelaskan-kepada-para-murid-lalu-menunduk-lagi-lalu-menjelaskan-lagi
dan seterusnya hingga kelas bubar.
Ilustrasi di atas bukan hanya sekadar dongeng.
Sejak kita SD hingga saat ini, paradigma tentang “Guru dan Buku” ini masih
melekat kuat. Karena hanya beberapa yang bisa keluar dari kebiasaan lama
mengajar berdasarkan literatur. Sisanya, sorry to say, membuat murid benar
benar mengantuk dan berpikir “Kalau hanya membahas apa yang ada di literatur,
lebih baik saya fotokopi literaturnya lalu saya bawa pulang dan baca di rumah
saja. Dan waktu yang saya gunakan untuk duduk sambil mengantuk di kelas ini
bisa saya gunakan untuk mengerjakan hal lain.” Dan rasanya banyak murid yang
berpikir seperti ini.
Guru, apalagi dosen, dengan adanya fenomena
yang disebut dengan globalisasi diharapkan menyadari bahwa mengajar dengan
cara lama seharusnya sudah menjadi sejarah. Romansa “menggunakan cara lama
terkadang lebih baik” itu hanya berlaku untuk beberapa hal, dan tidak termasuk
dalam hal pendidikan. Yang diharapkan para murid di era sekarang ini bukan
hanya sekedar materi literatur, mereka (murid) butuh lebih dari itu, yaitu
pengetahuan dan dorongan untuk berpikir kritis.
Katakanlah, ketika sedang berlangsung
pembelajaran, murid duduk di barisan tengah agak ke belakang, dan duduk
terkantuk kantuk atau bahkan mengobrol dengan teman di bangku sebelah. Dan kali
ini mari kembali bertaruh, ada jutaan siswa di Indonesia yang seperti itu.
bagaimana kalau sedikit dirubah? Siswa duduk
di barisan depan, dan mata saya mengikuti gerakan guru yang mengajar sambil
berjalan mendekati deretan bangku siswa. Guru tersebut tidak membawa buku
literatur. Beliau hanya berdiri santai menjabarkan materi yang berkaitan dengan
pelajaran, sambil mengaplikasikan beberapa materi terhadap peristiwa sekitar
yang bisa dikaitkan dengan pelajaran.
Guru yang punya banyak wawasan dan luwes
ketika mengajar pasti lebih aktraktif dan menarik bagi siswanya. Dengan begitu,
kelas menjadi hidup, siswa tertarik untuk menyimak dan bertanya, dan yang
terpenting, selain mengerti tentang materi pembelajaran, mereka mendapat banyak
pengetahuan.
Adapula guru lainnya, tidak terlalu banyak bercerita ini dan
itu, tapi beliau lebih banyak menuntut siswa berpikir kritis. Beberapa kalimat
yang mungkin dapat diartikan secara rancu, dibahas secara detil. Terkadang
setiap siswa ditanya pendapatnya. Dan beliau hanya memberi pancingan atas
materi yang beliau sampaikan, sisanya beliau akan menuntut siswa untuk
berpikir, kemana arah materi ini dan bagaimana pengertian hingga pengaplikasian
ilmunya. Dengan begitu mereka berpikir, mereka menjawab, bertanya, dan
mengerti.
Jika semua guru dan dosen menggunakan cara mengajar seperti
yang dilakukan guru di atas, saya yakin, minat belajar para pelajar di
Indonesia akan bertambah, dan SKS (Sistem Kebut Semalam) dalam belajar
menghadapi ujian tidak akan lagi menjadi primadona di kalangan pelajar.
Seharusnya kami mengerti, bukan hanya mendengar dan menghafal.
Semoga, semua pihak yang
berkepentingan dalam kegiatan belajar mengajar, dapat sama-sama belajar,
memajukan pendidikan.
0 komentar:
Posting Komentar