SELAMAT DATANG DI SDN 3 PASURUAN

SELAMAT DATANG DI SDN 3 PASURUAN

Selasa, 26 November 2013

Guru Dan Buku

Guru memang selalu identik dengan buku. Ketika memasuki kelas untuk mengajar, guru biasanya menenteng buku literatur untuk mengajar. Lalu duduk di meja, menyapa para murid, beberapa melemparkan candaan ringan untuk membuat para murid rileks, kemudian membuka buku dan mulai mengajar.
Mengajar = membahas materi yang ada di buku literatur per-bab
Seharusnya itu sudah menjadi cara lama dalam sistem belajar mengajar. Sekarang ini teknologi sudah semakin maju, dan kebanyakan anak muda sudah semakin pintar karenanya. Seharusnya tidak ada alasan untuk para guru tetap melestarikan cara mengajar menunduk-menatap-buku-lalu-menjelaskan-kepada-para-murid-lalu-menunduk-lagi-lalu-menjelaskan-lagi dan seterusnya hingga kelas bubar.
Ilustrasi di atas bukan hanya sekadar dongeng. Sejak kita SD hingga saat ini, paradigma tentang “Guru dan Buku” ini masih melekat kuat. Karena hanya beberapa yang bisa keluar dari kebiasaan lama mengajar berdasarkan literatur. Sisanya, sorry to say, membuat murid benar benar mengantuk dan berpikir “Kalau hanya membahas apa yang ada di literatur, lebih baik saya fotokopi literaturnya lalu saya bawa pulang dan baca di rumah saja. Dan waktu yang saya gunakan untuk duduk sambil mengantuk di kelas ini bisa saya gunakan untuk mengerjakan hal lain.” Dan rasanya banyak murid yang berpikir seperti ini.
Guru, apalagi dosen, dengan adanya fenomena yang disebut dengan globalisasi diharapkan menyadari bahwa mengajar dengan cara lama seharusnya sudah menjadi sejarah. Romansa “menggunakan cara lama terkadang lebih baik” itu hanya berlaku untuk beberapa hal, dan tidak termasuk dalam hal pendidikan. Yang diharapkan para murid di era sekarang ini bukan hanya sekedar materi literatur, mereka (murid) butuh lebih dari itu, yaitu pengetahuan dan dorongan untuk berpikir kritis.
Katakanlah, ketika sedang berlangsung pembelajaran, murid duduk di barisan tengah agak ke belakang, dan duduk terkantuk kantuk atau bahkan mengobrol dengan teman di bangku sebelah. Dan kali ini mari kembali bertaruh, ada jutaan siswa di Indonesia yang seperti itu.

bagaimana kalau sedikit dirubah? Siswa duduk di barisan depan, dan mata saya mengikuti gerakan guru yang mengajar sambil berjalan mendekati deretan bangku siswa. Guru tersebut tidak membawa buku literatur. Beliau hanya berdiri santai menjabarkan materi yang berkaitan dengan pelajaran, sambil mengaplikasikan beberapa materi terhadap peristiwa sekitar yang bisa dikaitkan dengan pelajaran.

Guru yang punya banyak wawasan dan luwes ketika mengajar pasti lebih aktraktif dan menarik bagi siswanya. Dengan begitu, kelas menjadi hidup, siswa tertarik untuk menyimak dan bertanya, dan yang terpenting, selain mengerti tentang materi pembelajaran, mereka mendapat banyak pengetahuan.

Adapula guru lainnya, tidak terlalu banyak bercerita ini dan itu, tapi beliau lebih banyak menuntut siswa berpikir kritis. Beberapa kalimat yang mungkin dapat diartikan secara rancu, dibahas secara detil. Terkadang setiap siswa ditanya pendapatnya. Dan beliau hanya memberi pancingan atas materi yang beliau sampaikan, sisanya beliau akan menuntut siswa untuk berpikir, kemana arah materi ini dan bagaimana pengertian hingga pengaplikasian ilmunya. Dengan begitu mereka berpikir, mereka menjawab, bertanya, dan mengerti. 
Jika semua guru dan dosen menggunakan cara mengajar seperti yang dilakukan guru di atas, saya yakin, minat belajar para pelajar di Indonesia akan bertambah, dan SKS (Sistem Kebut Semalam) dalam belajar menghadapi ujian tidak akan lagi menjadi primadona di kalangan pelajar. Seharusnya kami mengerti, bukan hanya mendengar dan menghafal.
Semoga, semua pihak yang berkepentingan dalam kegiatan belajar mengajar, dapat sama-sama belajar, memajukan pendidikan.  


0 komentar:

Posting Komentar